Kaifa Haluuk????

Dunia Maya Tanpa Batas.... Tapi Ingat, Apa Yang Anda Lakukan Akan diminta Pertanggungjawabanx...

Amar Ma'ruf Nahi Mungkar!!!

Senin, 26 Desember 2016

Persatuan warga negara dalam pemikiran hukum Islam perspektif piagam Madinah dan UUD RI 1945

I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama dalam ilmu sosiologi merupakan gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat di dunia. Agama merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat di samping unsur-unsur lain seperti kesenian, bahasa, sistem mata pencarian, sistem peralatan dan sistem organisasi sosial. Agama memiliki dua dimensi perwujudan yaitu segi kejiwaan (psychological state) yaitu tentang kondisi dalam jiwa manusia dan segi objektif (objective state) yaitu dimensi empiris agama.
Manusia adalah makhluk sosial yang sangat bergantung kepada orang lain. Manusia tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan orang lain. Sekumpulan manusia yang berada pada suatu daerah tertentu disebut masyarakat. Masyarakat tidak diartikan sebatas kumpulan orang saja, melainkan kelompok orang yang memiliki hubungan erat satu sama lain. Kelompok ini memiliki perbedaan antar individu di dalamnya yang membentuk hubungan timbal balik. Kumpulan orang ini secara bersama-sama memiliki jenis pengetahuan tertentu mengenai apa yang dapat diharapkan dari orang lain dan apa yang dapat diharapkan orang lain darinya. Oleh karena itu, manusia mutlak membutuhkan suatu hubungan yang baik dengan makhluk lainnya untuk mencapai tujuan hidupnya.
Dalam masyarakat, individu yang satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan agama, ras, suku dan budaya. Islam pun mengakui masyarakat terdiri atas berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri, sebagaimana dalam QS al-Baqarah/2: 148.
((((((((( (((((((( (((( ((((((((((( ( ((((((((((((((( ((((((((((((( ( (((((( ((( (((((((((( (((((( (((((( (((( (((((((( ( (((( (((( (((((( ((((( (((((( (((((((  
Terjemahnya
Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Dimana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan agama serta memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas untuk menjalankan ibadahnya. Bila setiap muslim memahami secara mendalam etika pluralitas yang terdapat dalam Alquran, tidak perlu lagi ada ketegangan, permusuhan, dan konflik dengan agama-agama lain selama mereka tidak saling memaksakan. Bukti empiris pluralisme Islam terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik di Andalusia, Spanyol. Bahkan dicontohkan sendiri oleh Nabi Muhammad saw. ketika berada di Madinah dengan membentuk masyarakat madani.
Namun pada makalah ini, penulis hanya akan mengungkapkan salah satu hal yang terkait dengan konsep masyarakat madani yaitu mengenai persatuan warga negara menurut Piagam Madinah dan UUD RI 1945. Sebagai pengetahuan awal, Piagam Madinah merupakan bentuk konstitusi pertama dalam sejarah yang mengatur tata kelola sebuah negara yaitu Daulah Islamiyah yang didirikan oleh Rasulullah saw. di Madinah. Makalah ini juga akan membahas tentang persatuan warga negara dipandang dari UUD RI 1945 yang merupakan konstitusi negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, persatuan warga negara akan dipandang dari dua konstitusi yaitu Piagam Madinah dan UUD RI 1945.
B.  Rumusan Masalah
Pokok masalah dalam makalah ini yaitu Bagaimana Persatuan warga negara dalam pemikiran hukum Islam perspektif piagam Madinah dan UUD RI 1945?. Adapun sub-sub masalah yang akan dibahas antara lain sebagai berikut:
Bagaimana pluralitas warga negara Madinah dan Indonesia?
Bagaimana konsep persatuan warga negara menurut Piagam Madinah?
Bagaimana konsep persatuan warga negara menurut UUD RI 1945?











II
PEMBAHASAN

A. Pluralitas Warga Negara Madinah dan Indonesia
Dalam perjalanan sejarah umat Islam, diyakini bahwa Rasulullah saw. telah membentuk suatu tatanan kehidupan baru yang berbeda dengan tatanan yang ada sebelumnya. Ketika beliau berada di Mekah, sekelompok orang yang berada dalam satu garis keturunan dengan moyang yang sama biasa disebut sebagai satu keluarga besar dengan sebutan bani (anak keturunan), kulawangsa, atau dinasti tertentu. Dalam sistem masyarakat Arab yang sederhana sebuah kabilah dikepalai seorang ternama sebagai seorang patriarkh atau seorang bapak utama, primus interpares, dengan julukan syekh. Hubungan yang paling dibanggakan adalah hubungan keturunan yang berasal dari moyang yang sama seperti Bani Quraisy, Bani ‘Adi, Bani Abdi Syams, Bani Abdul Manaf, dan suku-suku lainnya. Adapun tentang agama yang mereka anut, masih banyak memeluk keyakinan penyembah berhala yang utamanya dianut oleh orang-orang Arab dari kabilah Quraisy di Mekah.
Hal yang berbeda terjadi di Madinah yang kehidupan masyarakatnya cenderung lebih plural. Ada beberapa suku besar yang menganut kepercayaan yang berbeda. Agama yang berkembang di Madinah sebelum agama Islam tersebar disana adalah agama Yahudi, Nasrani, dan kepercayaan kepada berhala. Hal ini terbukti dengan terpecahnya dua kabilah besar yang memiliki kepercayaan yang berbeda yaitu Suku ‘Aus dan Suku Khazraj di satu kelompok (yang pada akhirnya bersekutu dengan Umat Islam) dan di pihak lain yaitu Suku Nadhir, Suku Qainuqa’, dan Suku Quraidhah yang beragama Yahudi. Pada awalnya, Suku Aus dan Suku Khazraj sering mengalami peperangan. Terbukti pada tahun ke-10 kenabian Muhammad saw., kedua golongan itu mengalami peperangan hebat. Golongan Khazraj mendapatkan kemenangan karena dibantu oleh kaum Yahudi Bani Nadhir dan Bani Qainuqa’ sedangkan golongan ‘Aus mengalami kekalahan karena hanya memperoleh bantuan dari kaum Yahudi Bani Quraidhah.
Setelah Rasulullah saw. hijrah ke Kota Madinah, perlahan Islam mengambil posisi yang strategis dan berpengaruh. Rasulullah saw. kemudian mulai melakukan penataan terhadap kota tersebut sehingga dalam sejarah kota Madinah dikenal sebagai sebuah Daulah Islamiyah (negara Islam). Hal ini tidak berarti bahwa beliau memperoleh kekuatan politik secara tiba-tiba. Pada kenyataannya, kekuatan politik itu tumbuh secara bertahap dengan melakukan perjanjian-perjanjian dengan suku-suku yang ada di Madinah. Hal yang menarik adalah meskipun berdiri sebagai negara Islam namun Rasulullah saw. mampu memimpin wilayah yang dihuni oleh masyarakat yang beragam suku dan agama tersebut secara adil dan damai. Seluruh masyarakat taat terhadap aturan yang mengikatnya. Inilah yang menjadi cikal bakal munculnya istilah masyarakat madani.
Secara sederhana dapat diberi pengertian bahwa masyarakat madani adalah sehimpunan orang-orang yang menjadi anggota yang hidup bersama dalam suatu tempat tertentu dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang mengacu kepada nilai-nilai kebaikan secara umum dengan menghindarkan dari berbagai konflik dan hidup dalam suatu komunitas persaudaraan yang berperadaban. Pengertian ini mengacu pada prinsip terbentuknya kota Madinah dibawah panduan Nabi Muhammad saw. yang diikat dengan Piagam Madinah. Dari rumusan tersebut dapat pula dianggap sebagai cikal bakal terbntuknya istilah warga negara.
Secara bahasa warga berarti anggota, keluarga, atau perserikatan. Sedangkan negara diartikan sebagai suatu organisasi dari suatu penduduk yang menetap di suatu daerah tertentu yang memiliki tujuan dan falsafah hidup yang sama yang terikat dengan aturan-aturan tertentu. Sehingga warga negara dapat diartikan sebagai anggota dari suatu organisasi yang disebut sebagai negara dimana setiap orang terikat pada suatu aturan tertentu. Sama halnya di negara Madinah, setiap warga negara terikat pada aturan dasar  (konstititutsi) yaitu Piagam Madinah.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul istilah masyarakat madani dalam perbincangan pemikiran hukum Islam dan istilah civil society dalam konsep pemikiran hukum Barat. Namun perlu diketahui bahwa pemahaman penggunaan kedua istilah tersebut agak sulit untuk dibedakan. Hal ini disebabkan belum ada makna leksikal terhadap masyarakat madani itu sendiri. Apalagi wacana yang disajikan mempersepsikan makna masyarakat madani sebagai civil society yang berkembang di Eropa dan Amerika. Konsep Civil society dikembangkan oleh para pemikir Barat seperti Thomas Aquinas, Otto Bruner, George Buchanan (1502 – 1582), Johannes Althusias (1557-1638), Hugo Grotius (1583 – 1645), John Locke (1632 – 1704), JJ. Roesseau (1712 – 1778), Immanuel Kant (1724 – 1804) hingga pada abad ke-20 Masehi oleh Antonio Gamsci (1891 – 1937). Civil society yang dikembangkan di Barat menekankan pada ide pokok tentang keharusan demokratisasi dalam pengertian yang seluas-luasnya untuk melenyapkan intimidasi, dominasi kekuasaan, dan bahkan marginalisasi terhadap orang atau suatu kelompok dalam masyarakat.
Sedangkan istilah masyarakat madani dipopulerkan oleh Nurkholish Madjid dan cendikiawan muslim Indonesia lainnya dengan mengambil akar sejarah kehidupan masyarakat Madinah ketika Rasulullah saw. hijrah dari Mekah. Awal kehidupan masyarakat Madinah ditandai dengan perubahan nama Yastrib menjadi Madinah (kota). Nabi bersama masyarakat Madinah membangun masyarakat pluralitas dengan meletakkan dasar-dasar masyarakat madani secara konkrit dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Piagam Madinah (Mīṡāq al-Madīnah/Ṣahīfah Madīnah). Dalam dokumen tersebut, manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan pada konsep wawasan kebebasan terutama bidang agama, tanggung jawab sosial, ekonomi, politik dan pertahanan secara bersama. Di Madinah itu pula Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata untuk membela diri dari musuh-musuh peradaban sebagai bentuk pembelaan masyarakat madani.
Masyarakat Madinah diketahui merupakan masyarakat yang heterogen berasal dari berbagai suku dan agama yang berbeda. Walaupun warganya heterogen, tetapi mereka secara keseluruhan terikat dan tunduk pada aturan yang terdapat dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah telah memberikan hak-hak dan kewajiban yang jelas kepada setiap warga negara dan aturan tersebut diterima secara baik dan dipatuhi oleh setiap orang. Rumusan aturan dalam piagam Madinah mampu mengakomodir rasa keadilan di dalam masyarakat sehingga kehidupan mereka menjadi adil dan damai. Bisa dikatakan bahwa Piagam Madinah menjadi aturan main yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang notabene berbeda satu dan lainnya.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa konsep masyarakat madani telah dipraktekkan pada abad ke-7 Masehi sedangkan civil society baru dikembangkan pada awal abad ke-16 Masehi. Meskipun secara ideal eksistensi masyarakat madani hanya sebentar tetapi secara historis memberikan makna yang sangat penting sebagai rujukan masyarakat di kemudian hari untuk membangun kembali tatanan kehidupan yang sama. Dengan pengalaman sejarah ini, masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw. secara kualitatif dipandang oleh sebagian kalangan intelektual muslim sejajar dengan konsep civil society. Hal ini berarti bahwa kedua konsep ini memiliki kesamaan dalam beberapa hal namun juga memiliki perbedaan yang mendasar. Kedua istilah tersebut sama-sama menunjukkan adanya keteraturan dalam masyarakat yang plural dengan menggunakan aturan sebagai pengikat antara individu atau kelompok dalam suatu masyarakat. Namun kedua konsep ini berbeda dalam alur sejarah pembentukannya. Civil Society berasal dari tradisi Barat yang dikenal pula dengan istilah societas civilis (Romawi) atau koinōnia politike (Yunani), sedangkan Masyarakat Madani merujuk pada tradisi Arab-Islam.
Kemudian beberapa abad setelah terbentuknya Negara Madinah, maka muncul pula suatu gejala dan fenomena yang sama dengan model masyarakat Madinah di daerah lain. Pola ini dialami oleh masyarakat yang berada di nusantara (sebutan bagi Indonesia sebelum terbentuk menjadi negara Republik Indonesia). Masyarakat yang mendiami wilayah nusantara terdiri dari berbagai suku, agama, kepercayaan, warna kulit, bahasa, dan kebudayaan yang berbeda. Namun, tetap terlihat adanya toleransi dan penghargaan yang tinggi terhadap perbedaan tersebut. Hal ini terlihat pada awal-awal kemerdekaan ketika membahas tentang falsafah negara. Kelompok-kelompok masyarakat yang majemuk dapat saling memahami kedudukan masing-masing dan tokoh-tokoh Islam telah menunjukkan jiwa madaniyah ketika toleran menerima perubahan sila pertama Pancasila tentang prinsip syariat Islam.
Berbagai fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa pluralitas yang ada baik di Negara Madinah maupun Negara Indonesia merupakan implementasi dari prinsip-prinsip masyarakat madani. Warga negara yang beragam dan berbeda tidak menghalangi terbentuknya suatu tatanan kehidupan yang harmonis dan teratur serta toleran terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam negara tersebut. Keberadaan konstitusi yang memberikan aturan yang jelas antara negara dan warganya mampu menciptakan kehidupan yang saling menghargai dan saling mendukung demi terbentuknya suatu negara yang adil dan makmur.
Walaupun demikian, keadilan dan kesejahteraan tidak dapat tercapai hanya dengan konstitusi dan eksistensi negara saja. Keterlibatan warga negara sebagai motor penggerak pembangunan negara sangat dibutuhkan. Warga negara menjadi unsur yang sangat penting sehingga dalam konstitusi sebuah negara, hak-hak dan kewajiban warga negara akan diatur sedemikian rupa. Warga negara merupakan komponen plural yang memiliki unsur keberagaman. Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya akan dibahas lebih lengkap mengenai konsep persatuan warga negara menurut dua konstitusi yaitu Piagam Madinah dan UUD RI Tahun 1945.
B. Persatuan Warga Negara menurut Piagam Madinah
Rasulullah saw. menyampaikan risalah Islam yang tidak hanya berorientasi pada urusan keagamaan tapi juga urusan duniawi. Menurut risalah Ilahi yang disampaikan Nabi Muhammad saw., ajaran Islam bukan hanya sebagai kepercayaan tetapi juga sebagai peraturan. Rasulullah saw. menjadi pemimpin masyarakat Islam pertama yang memegang dua jabatan sekaligus, yaitu sebagai penerima wahyu dan menyampaikannya dan sebagai pemegang kekuasaan (kepala negara) dalam urusan keduniaan.
Terkait dengan asal mula negara Islam, hijrah Nabi Muhammad saw. dan dua perjanjian setia (bai’at) yang diberikan oleh masyarakat Madinah merupakan titik tolak pembentukannya. Dua kejadian tersebut menjadi babak awal pembedaan masyarakat berdasarkan ideologi dan teologi, serta sebagai permulaan tegaknya dasar-dasar utama keamanan dan stabilitas di Madinah. Sejak saat itu, Nabi Muhammad saw. mendapatkan mandat kekuasaan sebagai unsur esensial pembuatan suatu sistem kenegaraan.
Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin di Madinah, melakukan negosiasi perdamaian dengan masyarakat Yahudi dan mengikat mereka dengan Piagam Madinah. Dalam nota perdamaian dengan masyarakat Yahudi (selanjutnya tertuang dalam Piagam Madinah), masyarakat Madinah disetarakan dalam hak dan kewajiban. Terdapat sejumlah persyaratan dan kesepakatan masyarakat yang harus ditaati oleh semua elemen masyarakat. Semua pihak, baik Muslim Muhajirin, Anshar, dan Yahudi mendapat perlindungan harta dan jiwanya.
Kehidupan masyarakat Madinah yang terdiri dari komponen-komponen berbeda baik suku, agama, dan budaya diikat dalam suatu peraturan yang telah disepakati secara bersama-sama yaitu Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Perbedaan tersebut merupakan hal yang lumrah dan merupakan sunnatullah sebagaimana dalam QS. AL-Hujurat 49/13
((((((((((( (((((((( ((((( (((((((((((( (((( (((((( ((((((((( ((((((((((((((( (((((((( (((((((((((( ((((((((((((((( ( (((( (((((((((((( ((((( (((( ((((((((((( ( (((( (((( ((((((( (((((((

Terjemahnya:
Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.
Terkait dengan ayat ini, Rasulullah saw. pernah menyampaikan sebuah hadis dalam khutbahnya. Beliau bersaba:
يا ايها الناس٬ ان الله قد اذهب عنكم عبية الجاهلية و تعظمها بابائها٬ فالناس رجلا ن : رجل بر تقي كريم على الله ٬ وفاجر  شقي هين على الله . ان الله يقول : (((((((((((( (((((((( ((((( (((((((((((( (((( (((((( ((((((((( ((((((((((((((( (((((((( (((((((((((( ((((((((((((((( ( (((( (((((((((((( ((((( (((( ((((((((((( ( (((( (((( ((((((( ((((((( ) ثم قال : اقول قولي هذا واستغفرالله لي ولكم
Artinya:
Hai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah telah menghilangkan kebanggaan jahiliyyah dari kalian dan sikap saling membangga-banggakan dengan leluhur. Maka manusia itu hanya ada dua macam, yaitu 1) orang yang berbakti, bertakwa lagi mulia di sisi Allah swt., dan 2) orang yang durhaka, celaka lagi hina di sisi Allah swt. Sesungguhnya Allah berfirman: “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” Selanjutnya beliau bersabda, demikan yang disampaikan, dan aku meminta ampunan untukku dan kalian semua. (HR. Humaid)
Perbedaan tersebut diciptakan oleh Allah swt. dengan tujuan agar manusia saling mengenal, memahami, dan  melengkapi satu sama lain. Tidak ada perbedaan derajat antara golongan yang satu dengan yang lain selain tingkat ketakwaannya kepada Allah swt. Mengenai perbedaan yang timbul dalam masyarakat, ajaran Islam melalui praktek yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw., memperlihatkan tata kelola yang baik ketika beliau memimpin masyarakat Madinah. Masyarakat Madinah pada saat itu berbeda dalam berbagai sendi kehidupan terutama perbedaan suku dan agama, namun terbukti, di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. masyarakat Madinah berada dalam keadaan yang tentram dan damai.
 Piagam Madinah terkenal dengan Konstitusi Madinah. Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitutsi tertulis pertama di dunia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi. Dalam piagam tersebut ditetapkan adanya pengakuan kepada semua warga Madinah tanpa memandang agama dan suku sebagai umat yang tunggal (ummah wāhidah) dengan hak dan kewajiban yang sama. Isi Piagam Madinah bersifat universal dan tidak menyalahi Hak Asasi Manusia. Piagam Madinah mengakui hak-hak dan kewajiban setiap kelompok etnis dan sistem peribadatan. Selengkapnya klasifikasi Piagam Madinah sebagai berikut:
Muqaddimah
Bab I     Pembentukan umat, satu pasal (pasal 1)
Bab II    Hak Asasi Manusia, sembilan pasal (pasal 2-10)
Bab III  Persatuan seagama, lima pasal (pasal 11-15)
Bab IV  Persatuan segenap warga negara, delapan pasal (pasal 16-23)
Bab V    Pengakuan golongan minoritas, dua belas pasal (pasal 24-35)
Bab VI   Tugas warga negara, tiga pasal (pasal 36-38)
Bab VII  Perlindungan negara, tiga pasal (pasal 39-41)
Bab VIII Pimpinan negara, tiga pasal (pasal 42-44)
Bab IX    Politik perdamaian, dua pasal (45-46)
Bab X      Penutup, satu pasal (pasal 47).
Dari klasifikasi tersebut, tergambar bahwa organisasi masyarakat yang dibentuk di Madinah terkandung makna persatuan dan persaudaraan baik persatuan dan persaudaraan seagama maupun persatuan dan persaudaraan kemanusiaan antarpemeluk agama. Namun bila diteliti secara cermat, terdapat beberapa ketetapan yang mengisyaratkan bahwa untuk memelihara keutuhan masyarakat tersebut, maka perlu ada pembinaan persatuan dan persaudaraan melalui kerjasama di antara mereka.
Suatu masyarakat, bangsa dan negara tidak akan berdiri tegak bila di dalamnya tidak terdapat persatuan dan persaudaraan warganya. Persatuan dan persaudaraan ini tidak akan terwujud tanpa saling bekerjasama dan saling mencintai. Setiap jamaah yang tidak diikat oleh ikatan kerjasama dan kasih sayang serta persatuan yang sebenarnya, tidak mungkin bersatu dalam satu prinsip untuk mencapai tujuan bersama. Persatuan dan persaudaraan inilah yang menjadi pondasi dan perekat terbentuknya suatu negara.
Dalam hal persatuan seagama (dalam hal ini yang dimaksud adalah orang Mukmin) telah ditetapkan dalam Piagam Madinah pasal 12 bahwa seorang Mukmin tidak boleh mengikat persekutuan atau aliansi dengan keluarga Mukmin lain tanpa persetujuan lainnya. Seorang Mukmin juga tidak boleh membunuh Mukmin lain untuk kepentingan orang kafir dan tidak dibolehkan pula menolong orang kafir yang merugikan orang Mukmin (pasal 14). Demikian pula orang Mukmin tidak dibenarkan mengadakan perjanjian damai dengan meninggalkan Mukmin lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali atas dasar persamaan dan keadilan di antara mereka. Sebab perdamaian di antara orang-orang Mukmin itu satu (pasal 17). Beberapa larangan yang diatur antara hubungan sesama orang Mukmin tersebut bertujuan untuk memelihara persatuan seagama. Tindakan-tindakan yang dilarang tersebut tidak menunjukkan persatuan dan persaudaraan bahkan dapat menimbulkan perselisihan, pertengkaran dan permusuhan di kalangan orang-orang Mukmin.
Sedangkan ketetapan Piagam Madinah yang bertujuan mewujudkan persatuan dan persaudaraan antar pemeluk agama dan keyakinan segenap warga Madinah, dalam arti persatuan dan persaudaraan sosial dan kemanusiaan terwujud dalam ketetapan pasal 24 yaitu orang-orang Mukmin dan Yahudi bekerjasama menanggung pembiayaan selama mereka berperang. Selain itu, di antara mereka harus terjalin kerjasama dan tolong menolong dalam menghadapi orang yang menyerang pemilik Piagam Madinah (warga Negara Madinah), saling menasehati dan memberi saran, dan berbuat baik bukan dalam perbuatan dosa (pasal 37) serta kerjasama dan tolong menolong menghadapi orang yang menyerang Yastrib (Madinah) pada pasal 44. Khusus pada penduduk Madinah yang musyrik tidak boleh melindungi harta dan jiwa orang Quraisy dan tidak boleh melindunginya untuk menentang orang Mukmin (pasal 20). Klausul-klausul ini membuktikan bahwa seluruh warga Madinah merupakan peserta perjanjian (terikat pada Piagam Madinah) baik itu Yahudi, Nasrani maupun musyrik.
Dengan demikian, esensi ketetapan-ketetapan dalam Piagam Madinah bertujuan untuk memelihara dan mengakrabkan persatuan dan persaudaraan penduduk Madinah yang integral dan majemuk, sebagai sendi dan perekat keutuhan mereka sebagai masyarakat yang satu dalam kehidupan sosial politik. Pada sisi lain, perjanjian tersebut menunjukkan keadilan perilaku dan sikap terbuka Nabi Muhammad saw. terhadap golongan non-Islam. Dengan perjanjian itu pula, beliau ingin mendidik masyarakat Madinah agar saling berbuat baik dan bekerjasama sekalipun mereka berbeda agama dan keyakinan.
C. Persatuan Warga Negara Menurut UUD RI 1945
Indonesia merupakan sebuah negara yang memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Teks proklamasi tersebut merupakan dokumen politik dari proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Penyusunan UUD RI 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung dari falsafah hidup atau dasar negara (ideologi) bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Secara eksplisit tidak disebutkan dalam pembukaan UUD RI 1945 mengenai dasar negara Indonesia yaitu Pancasila, melainkan hanya menyebutkan sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Walaupun demikian, telah jelas bahwa konstitusi Republik Indonesia memiliki ruh yang berasal dari Pancasila.
UUD RI 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia merupakan hasil pemikiran dari para founding father negara Indonesia. Dalam perjalanan sejarah, menjelang kemerdekaan Indonesia dibentuk sebuah badan bernama Dokuritsu Zyunbi Choosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) pada tanggal 29 April 1945 yang diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat dan Ketua Muda R.P. Soeroso, yang bertugas menyusun dasar Indonesia merdeka (Undang-Undang Dasar negara). Sidang kedua BPUPKI dari tanggal 10 sampai dengan 17 Juli 1945 yang berhasil membuat Undang-Undang Dasar. Kemudian pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan pertemuan antara gabungan paham kebangsaan dan golongan agama yang mempersoalkan hubungan antara agama dan negara. Dalam rapat tersebut dibentuk Panitia Sembilan, terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. A. Subardjo, Mr. A. A. Maramis, Ir. Soekarno, KH. Abdul Kahar Moezakir, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, dan Mr.  Muh. Yamin. Panitia Sembilan berhasil membuat rancangan Preambule (pembukaan) Hukum Dasar yang oleh Mr. Muh. Yamin disebut dengan istilah Piagam Jakarta.
Setelah selesai melaksanakan tugas, BPUPKI melaporkan hasilnya kepada Pemerintah Militer Jepang disertai usulan dibentuknya suatu badan baru yakni Dokutsu Zyunbi Linkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI), yang bertugas mengatur pemindahan kekuasaan (transfer of authority) dari Pemerintah Jepang kepada Pemerintah Indonesia. Atas  usulan tersebut maka dibentuklah PPKI dengan jumlah anggota 21 orang yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan wakil ketuanya Drs. Moh. Hatta. Anggota PPKI kemudian ditambah 6 orang, tetapi masih lebih sedikit daripada jumlah anggota BPUPKI, yaitu 69 orang. PPKI inilah yang mengesahkan UUD RI 1945 sebagai hukum dasar (konstitusi) negara Indonesia pada tanggal 18 Agusutus 1945.
Dalam UUD RI 1945 terdapat berbagai aturan kehidupan bernegara termasuk aturan mengenai persatuan warga negara. Dalam beberapa literatur, bahasan mengenai persatuan warga negara lebih banyak diistilahkan kebinekatunggalikaan. Persatuan Indonesia secara politis sudah didefinisikan dalam semboyang Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda namun tetap satu jua). Selama seseorang berada di wilayah Indonesia maka ia dikategorikan sebagai warga negara tanpa memandang perbedaan agama, suku, ras, dan budaya. Hal ini terdapat pada pasal 26 (ayat) 1 UUD RI 1945  bahwa yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Dengan demikian, penduduk asli Indonesia secara otomatis menjadi warga negara Indonesia dan terikat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum (pasal 27 (ayat) 1). Hak warga negara mengacu pada Hak Asasi Manusia yang diatur dalam UUD RI 1945 Pasal 28A-28J dan pasal 27 (ayat 2) bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Adapun kewajiban warga negara diatur pada pasal 27 (ayat) 3 bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Berbagai hak dan kewajiban tersebut memperlihatkan adanya kebebasan yang diberikan kepada setiap warga negara tanpa memperhatikan perbedaan antar setiap individu atau kelompok masyarakat. Mereka juga memiliki tanggung jawab persatuan dalam membela keutuhan Negara Republik Indonesia.
Berbagai aturan tersebut memperlihatkan bahwa UUD RI 1945 memberikan kontribusi yang besar dalam persatuan dan kesatuan Indonesia. Pluralitas bangsa Indonesia tidak menghalangi terbentuknya persatuan dalam kehidupan bernegara. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama senada dengan konsep politik (tidak secara eksplisit) yang dipraktekkan oleh Rasulullah saw. Hal itu tercermin dalam prinsip persamaan (equality), kebebasan, Hak Asasi Manusia, serta prinsip musyawarah.
Prinsip persamaan ini ditemukan dalam suatu ide bahwa setiap orang tanpa memandang jenis kelamin, nasionalitas, atau status semuanya adalah makhluk Tuhan. Dalam Islam pun telah ditegaskan melalui Surat al-Hujarat: 49/13 yang disebutkan sebelumnya. Salah satu pemikiran para ulama yang termasuk sebagai founding father negara Indonesia mengenai konsep persatuan yaitu kerelaan dari para ulama tersebut untuk menghapuskan tujuh kata pada sila pertama rancangan Pancasila yaitu “dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Hal ini bukan dengan maksud untuk mengingkari kewajiban terhadap ajaran Islam, melainkan untuk menegaskan bahwa ajaran Islam yang murni memang mengandung nilai-nilai ketuhanan dan persamaan di antara seluruh manusia tanpa terkecuali. Dengan pemikiran inilah sehingga terbentuk persatuan dan kesatuan antar seluruh warga negara Republik Indonesia. Secara tidak langsung, nilai-nilai Islam telah terinternalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia.


III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat di Madinah merupakan masyarakat yang plural (heterogen). Ada beberapa suku besar yang dominan yang menganut kepercayaan yang berbeda. Agama yang berkembang di Madinah sebelum agama Islam tersebar disana adalah agama Yahudi, Nasrani, dan kepercayaan lainnya. Ketika Islam datang, seluruh komponen masyarakat tersebut diikat dalam suatu semangat kebersamaan dan persatuan melalui Piagam Madinah. Masyarakat di wilayah negara Republik Indonesia juga merupakan masyarakat yang plural. Masyarakat yang mendiami wilayah nusantara terdiri dari berbagai suku, agama, kepercayaan, warna kulit, bahasa, dan kebudayaan yang berbeda. Namun, ditengah perbedaan tersebut, terlihat adanya toleransi dan penghargaan yang tinggi terhadap perbedaan tersebut.
Rasulullah saw. sebagai pemimpin di Madinah telah melakukan negosiasi perdamaian dengan masyarakat Madinah baik yang seagama maupun tidak seperti yang tertuang dalam Piagam Madinah. Semua pihak, baik Muslim Muhajirin, Anshar, Yahudi, dan musyrik mendapat perlindungan terhadap harta dan jiwanya. Dengan demikian organisasi masyarakat yang dibentuk di Madinah mengandung makna persatuan dan persaudaraan baik persatuan dan persaudaraan seagama maupun persatuan dan persaudaraan kemanusiaan antar pemeluk agama dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara (dalam hal ini Daulah Islamiyyah).
Dalam perspektif UUD RI 1945, persatuan warga negara merupakan hal yang sangat dijunjung tinggi sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip persatuan ini tertuang dalam pasal-pasal UUD RI 1945 yang memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi setiap warga negara Indonesia. Berbagai aturan di dalamnya, memperlihatkan bahwa UUD RI 1945 memberikan kontribusi yang besar dalam persatuan dan kesatuan Indonesia. Pluralitas bangsa Indonesia tidak menghalangi terbentuknya persatuan dalam kehidupan bernegara.
B. Implikasi
Penelitian ini telah memaparkan berbagai konsep persatuan yang ada dalam ajaran agama Islam dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Hal ini telah membantah tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada umat Islam mengenai sikap intoleransi dan eksklusivitas ajaran Islam. Faktanya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, umat Islam telah memberikan sumbangan pemikiran yang revolusioner mengenai tata kelola pemerinthan dan prinsip-prinsip hubungan antara warga negara. dalam Islam, persatuan merupakan landasan yang kokoh untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, tentram dan damai.
Konsep persatuan warga negara tidak akan terwujud tanpa adanya aturan yang menegaskan bahwa setiap warga negara merupakan subjek yang memiliki persamaan baik dalam hukum, politik, dan ekonomi, tanpa memandang agama, suku, warna kulit, budaya dan sebagainya. Konsep persamaan hak dan kewajiban yang melahirkan persatuan warga negara telah terimplementasi dengan baik dalam sistem ketatanegaraan di Madinah (Daulah Islamiyah). Masyarakat yang plural diikat dalam suatu kontrak antara penguasa dan rakyat dalam suatu konstitusi yang menjunjung tinggi persatuan tersebut. Persatuan warga negara akan sangat terlihat dalam aspek upaya memajukan bangsa dan negara dan dalam upaya pertahanan dan keamanan negara.
Secara umum, konsep masyarakat Madinah yang dibangun oleh Rasulullah saw. memiliki kesamaan dengan masyarakat di Indonesia. Dengan demikian, ajaran-ajaran Islam yang bersifat universal walaupun berasal dari Arab, tetap bisa diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Berbagai aturan yang berasal dari ajaran Islam dapat diterapkan dalam sistem hukum di Indonesia dengan syarat bahwa masyarakat telah mapan dalam memahami hukum Islam dan bersedia untuk mempraktekkan hukum Islam itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan Terjemah (Al-Kaffah) (Surabaya: Sukses Publishing, 2012.
Badawi, Tsarwat. An-Nushum As-Siyasah. Lebanon: Dar al-Fikr, 1998.
Basuki, Udiyo. Amandemen Kelima Undang-undang Dasar 1945 sebagai Amanat Reformasi dan Demokrasi dalam Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia cabang D.I. Yogyakarta. Vol.1, No.1, Yogyakarta, 2015.
Dhiyauddin Umari, Akram. Madinan Societyat The Time of the Prophet: Its Characteristics and Organization, terj. Mun’im Sirry dengan judul Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi. Cet I; Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Guillaume, Alfred. The Life of Muhammad. Inggris: Oxford University Press, 1970.
Hanafiah, Pipin. Makalah UUD 1945. Bandung: Fisip Unpad, 2001.
STIE Banten. “Sejarah Terbentuknya UUD 1945”, Blog STIE Banten. http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/06/sejarah-terbentuknya-uud-1945.html (23 November 2016)
Madjid, Nurkholish. “Menuju Masyarakat Madani” Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, Ulumul Quran, No. 2/VII/1996. Cet. I, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Mahasin, Aswad, et.al.(ed). Ruh Islam dalam Budaya Bangsa. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari padangan Alquran. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Said Ramadhan al-Bûthi, Muhammad. Sīrat Nabawiyyat, terj. Aunur Rafiq Saleh Tamhid dengan judul Sirah Nabawi. Jakarta: Robbani Press, 1991.
Saligman, Adam B. The Idea of Civil Society. New York: the Tree Press, 1992.
Samin, Sabri. Hukum Islam di Indonesia Versus Piagam Madinah. Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Sufyanto. Masyarakat Tamaddun (Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurkholish Madjid). Yogyakarta: LP2IF bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2001.
Syalabial, Ahmad. Mujtama’ al-Islamy, terj. Muhatar Yahya, Masyarakat Islam. Surabaya: Ahmad Nubhan, 1975.
Teks UUD Negera Republik Indonesia Tahun 1945
Toto Pandoyo, Soewoto. Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945, Proklamasi, dan Kekuasaan MPR. Yogyakarta: Liberty, 1981.
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Juz 8; t.t.: t.p., t.tt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar