BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kita sering kali melihat berbagai realitas
kehidupan rumah tangga di sekitar kita. Ada yang berjalan harmonis ada pula
yang mengalami problema – problema yang sering kali berujung pada perceraian.
Sebagai remaja, kita kelihatan kurang menanggapi problema yang sering kita
lihat tersebut. Bahkan kebanyakan dari remaja justru terlihat cuek dan acuh
terhadapa masalah ini. Padahal sebenarnya, remajalah yang turut andil dalam
masalah tersebut.
Remaja memang tidak terlibat langsung, namun
bila dipikirkan lebih dalam lagi, pangkal dan akar permasalahan semacam ini
bermula karena kurangnya persiapan dan pendewasaan para remaja dalam memasuki
fase baru yaitu kehidupan rumah tangga. Dalam usia remajalah pria dan wanita
mulai mempersiapkan diri untuk menempuh kehidupan perkawinan bersama pasangan.
Memang dalam realitanya, banyak tantangan
yang menjerumuskan para remaja sehingga tidak menyadari akan pentingnya proses
ini dalam hidupnya. Bahkan, Remaja kurang mampu mengaitkan masalah semacam ini
dengan prilaku spiritual kita dalam hal ini agama islam. Karena sebenarnya
dalam perkawinan, kita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan biologis,
namun kita harus menyadari bahwa perkawinan diperuntukkan memenuhi kebutuhan emosional
dan spiritual. Oleh karena itu, pendewasaan
Usia Perkawinan dengan kaitannya dengan spiritual (agama islam) ini akan dibahas dalam
karya Tulis Remaja ini.
B.
TUJUAN
Adapun tujuan karya tulis ini, yaitu untuk
membantu pemecahan masalah remaja dalam mempersiapkan diri menghadapi masa
perkawinan. Karya tulis ini dibuat untuk memberikan pemahaman kepada para
remaja akan pentingnya mempersiapkan diri bukan hanya dari aspek biologis, tapi
juga aspek emosional dan spiritualnya. Karya tulis ini juga bertujuan untuk
mengubah persepsi masyarakat bahwa perkawinan itu hanya membutuhkan persiapan
diri, materi, dan rohani ( rasa kasih sayang ) melainkan pernikahan itu
sekaligus sebagai salah satu sunnah nabi dan mengandung nilai ketaan kepada
Sang Pencipta.
C.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengaruh kurangnya pemahaman agama dengan
banyaknya problema perceraian di tengah masyarakat?
2.
Bagaimana pandangan islam dalam upaya
mendewasakan Remaja dalam memasuki usia perkawinan?
D. HIPOTESIS
v Kurangnya
pemahaman agama dalam kehidupan perkawinan menyebabkan tidak adanya kesadaran
akan pentingnya pemenuhan kebutuhan bilogis, emosional, dan spiritual yang
berdampak pada terjadinya perceraian.
v Islam
membekali para remaja dengan pendidikan mengenai perkawinan baik bagi pria
maupun wanita. Dalam islam, perlu diadakan berbagai persiapan pra nikah baik biologis,
emosional, spiritual maupun material. Islam menyeimbangkan antara kemampuan
melaksanakan perkawinan dengan hak dan kewajiban suami maupun istri. Disinilah peran
serta orang tua, lembaga sosial, dan tokoh masyarakat dalam membimbing para
remaja untuk mempersiapkan diri memasuki usia perkawinan. Oleh karena itu,
masing – masing pihak menyadari akan tanggung jawabnya dan nantinya kehidupan
perkawinannya berjalan dengan lancar.
BAB II
SUBSTANSI / ISI
A.
Hukum – Hukum Islam
tentang Perkawinan
v "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN
MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha
Mengetahui." (QS. An Nuur (24) : 32).
v Anjuran-anjuran Rasulullah untuk Menikah : Rasulullah SAW
bersabda: "Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan
golonganku !"(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah
r.a.).
v "Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah : a.Orang yang
berjihad / berperang di jalan Allah. b. Budak yang menebus dirinya dari
tuannya. c.Pemuda / i yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang
haram." (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim)
v "Wahai generasi muda ! Bila diantaramu
sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga,
kemaluan akan lebih terpelihara." (HR. Bukhari dan
Muslim dari Ibnu Mas'ud).
Berdasarkan Dalil Al – Qur’an dan Hadits di atas dapat kita
ketahui bahwa betapa islam sangat menganjurkan perkawinan bagi setiap
penganutnya. Allah SWT telah menetapkan kebaikan dalam pernikahan. Bukan hanya
kebaikan jasmaniah maupun rohaniah. Bahkan Rasulullah SAW sangat menekankan
kepada umatnya agar melaksanakan perkawinan, bahkan terhadap pemuda miskin
sekalipun. Beliau juga menekankan pada kata “sudah mampu”, artinya bagi pria
maupun wanita yang telah mampu secara batiniah dan dengan niat menjauhkan dari
berbagai mudharat.
B. Usia nikah Menurut Hukum Negara & Agama
Islam
Dalam Undang – Undang ini usia
perkawinan disebutkan pada :
Pasal 7 :
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila
piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
usia 16 (enam belas) tahun.
Namun, dewasa ini
peraturan telah direvisi sehingga usia perkawinan bagi pria yaitu 25 tahun ke
atas dan wanita 20 tahun ke atas
Bila ditinjau dari aspek agama islam, usia
nikah itu adalah ketika seorang pria atau wanita telah memasuki usia baligh.
Bagi pria, baligh ditandai oleh terjadinya mimpi basah dan berubahnya suara.
Bagi wanita, baligh ditandai dengan terjadinya haid. Selain itu, islam juga
mempertimbangkan tentang adanya nafsu seksualitas yang dimiliki oleh setiap
muda – mudi yang memasuki masa baligh. Oleh karena itu, Islam memperkenalkan
jalur nikah untuk menjaga kesucian masing – masing pihak. Adapun hadits yang
telah dipapakarkan, Nabi Muhammad SAW memberikan dalil yang membawa kebaikan
bagi semua penganutnya karena hal ini telah terbukti bahwa dengan jalur nikah,
kita dapat terpelihara dari berbagai kerusakan, baik moral, biologis, sosial,
maupun keagamaan
Adapun
Undang – undang yang mengatur tentang pernikahan terdapat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
BAB I DASAR
PERKAWINAN ( pasal 1 – 5 )
BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN ( pasal 6 – 12 )
BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN ( pasal 13 – 21 )
BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN ( pasal 22 – 28 )
BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN ( pasal 29 )
BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI (
pasal 30 – 34 )
BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN ( pasal 35
– 37 )
BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA ( pasal 38 – 41 )
BAB IX
KEDUDUKAN ANAK ( pasal 42 – 44 )
BAB X HAK
DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK (pasal 45–49)
BAB XI
PERWAKILAN ( pasal 50 – 54 )
BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN ( pasal 55 – 63 )
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN ( pasal 64 dan 65 )
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP ( pasal 66 – 67 )
.
C. Persiapan / Pendewasaan bagi Pria
Gerangan apakah
pernikahan itu? Apakah sekedar memilih pasangan hidup yang tampan dan
cantik? Apakah sekedar pelarian untuk memuaskan kebutuhan biologis?
Apakah sekedar untuk mencari teman curhat permanen? Atau sekedar
coba-coba? Semua itu bisa dijawab kalau kita memiliki sebuah visi yang
jelas perihal pernikahan. Sebagai seorang pemimpin dalam keluarga, maka
laki-laki dituntut untuk memiliki visi yang jelas.
Dalam Islam, keluarga
bisa membawa manusia kepada dua ekstrem. Jika kita membina keluarga
dengan baik dan semua anggota keluarga tersebut menjadi saleh, maka sudah pasti
surga akan menjadi tempat berkumpul keluarga kita kelak. Sebaliknya, kalau
kita rajin melaksanakan amal-amal saleh pribadi namun mengabaikan keadaan
anak-istri kita, maka bisa jadi kita akan ikut diseretnya ke neraka. Kita
berdoa semoga seluruh anggota keluarga kita bisa saling tarik menuju surga.
Sekarang, masalahnya
jauh lebih kompleks daripada sekedar penghasilan. Seorang laki-laki harus
sadar bahwa melangkah kepada pernikahan berarti membebani dirinya sendiri
dengan sebuah tanggung jawab yang besar, yaitu tanggung jawab pendidikan.
Ia wajib memikirkan dengan serius tentang kemampuannya mendidik anak-istrinya
kelak. Otomatis, ia pun harus memikirkan keadaan dirinya terlebih
dahulu. Bagaimana mungkin orang yang tidak terdidik bisa mendidik orang
lain?
Jadi, masalah pertama
yang harus dipikirkan adalah keadaan diri sendiri. Sudahkah kita menjadi
laki-laki yang saleh? Sudahkah kita terbisaa melakukan shalat
berjamaah? Sudahkah kita membaca Al-Qur’an secara teratur setiap harinya
dengan bacaan yang baik? Sudahkah kita membisaakan tersenyum dan bertutur
kata sopan dengan orang lain? Sudahkah kita melaksanakan shalat malam
secara rutin? Sudahkah kita memahami ajaran-ajaran Islam? Sudahkah
kita mengenal Allah dengan baik? Dalam hal ini termasuk juga kesiapan fisik dan
biologis. Sangat dianjurkan setiap calon mulai mencari informasi tentang Pengetahuan
kesehatan reproduksi, dan seks pranikah. Hal ini dapat diperoleh melalui metode
ceramah, Metode diskusi kelompok baik pada siswa, mahasiswa, maupun peserta
pelatihan – pelatihan atau kursus yang telah memasuki usia remaja atau usia
perkawinan. Bahkan kita sangat dianjurkan untuk melakukan pemerikasaan di pusat
kesehatan setempat untuk mengetahui kesehatan tubuh atau alat reproduksi kita,
agar hal ini dapat menjadi langkah antisipasi dan pencegahan penyebaran
penyakit.
Kedengaran berlebihan?
Tentu saja tidak. Ketika kita membesarkan anak, maka kita harus paham
bahwa pengajaran agama sepenuhnya adalah tanggung jawab kita, bukan
sekolah. Sudah banyak bukti bahwa pelajaran agama Islam di sekolah sangat
jauh dari cukup. Jangan merasa siap menjadi orang tua jika belum siap
menjadi pendidik!
Bagaimana dengan
istri? Justru masalah inilah yang harus dipikirkan terlebih dahulu,
karena istri (tentu saja) hadir lebih dulu daripada anak. Bagaimana cara
mendidik istri? Sudahkah kita memahami keadaan psikologis perempuan (yang
jelas berbeda dengan laki-laki)? Sudahkah kita memahami
kecenderungan-kecenderungan mereka? Sudahkah kita membuat rencana
bagaimana harus mendidik istri? Sudahkah kita merencanakan untuk membisaakan
shalat malam berjamaah? Sudahkah kita berpikir bagaimana mencegahnya agar
tidak ikut-ikutan bergabung dalam forum gosip tetangga? Sederet
pertanyaan lainnya akan segera bermunculan jika kita membuka pikiran kita,
insya Allah.
Tulisan ini sama sekali
tidak bermaksud untuk menakut-nakuti saudara-saudara yang telah siap
menikah. Justru saya berharap mereka yang akan segera menikah segera
mengevaluasi lagi kesiapannya dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan
sebelum hari ‘H’ itu tiba. Laki-laki yang siap menikah juga harus siap
menjadi kepala keluarga, pembuat keputusan, pendidik, pemimpin, pemberi rasa
aman, suri tauladan, suami dan ayah yang baik. Adapun bagi mereka yang
belum siap, hanya ada satu kata : Siapkanlah!
Jadi dengan demikian,
dari pihak pria harus melakukan persiapan dalam aspek :
1.
Penghasilan
2.
tanggung jawab
pendidikan
3.
keadaan diri
sendiri
4.
cara mendidik istri
5.
kepala keluarga,
pembuat keputusan, pendidik, pemimpin, pemberi rasa aman, suri tauladan, suami
dan ayah yang baik
D. Persiapan / Pendewasaan bagi wanita
Untuk
merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah
hubungan yang benar-benar manusiawi maka Islam telah datang dengan membawa
ajaran pernikahan Islam menjadikan lembaga pernikahan sebagai sarana untuk
memadu kasih sayang diantara dua jenis manusia. Dengan jalan pernikahan itu
pula akan lahir keturunan secara terhormat. Maka adalah suatu hal yang wajar
jika pernikahan dikatakan sebagai suatu peristiwa yang sangat diharapkan oleh
mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.
Persiapan
Pra Nikah bagi muslimah . Seorang muslimah sholihah yang mengetahui urgensi dan
ibadah pernikahan tentu saja suatu hari nanti ingin dapat bersanding dengan
seorang laki-laki sholih dalam ikatan suci pernikahan. Pernikahan menuju rumah
tangga samara (sakinah, mawaddah & rahmah) tidak tercipta begitu saja,
melainkan butuh persiapan-persiapan yang memadai sebelum muslimah melangkah
memasuki gerbang pernikahan.
Oleh sebab
itu seorang muslimah harus mengetahui secara mendalam tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan persiapan-persiapan menjelang memasuki lembaga pernikahan.
Hal tersebut antara lain :
A.
Persiapan spiritual/moral (Kematangan visi
keislaman)
Dalam tiap diri muslimah, selalu terdapat
keinginan, bahwa suatu hari nanti akan dipinang oleh seorang lelaki sholih,
yang taat beribadah dan dapat diharapkan menjadi qowwam/pemimpin dalam
mengarungi kehidupan di dunia, sebagai bekal dalam menuju akhirat. Tetapi, bila
kita ingat firman Allah dalam Alqurâ’an bahwa wanita yang keji, adalah untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik.
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik….” (QS An-Nuur: 26).
B.
Persiapan konsepsional (memahami konsep
tentang lembaga pernikahan)
Pernikahan sebagai ajang untuk menambah
ibadah & pahala : meningkatkan pahala dari Allah, terutama dalam Shalat Dua
rokaat dari orang yang telah menikah lebih baik daripada delapan puluh dua
rokaatnya orang yang bujang” (HR. Tamam).
Pernikahan sebagai wadah terciptanya generasi
robbani, penerus perjuangan menegakkan dienullah. Adapun dengan lahirnya anak
yang sholih/sholihah maka akan menjadi penyelamat bagi kedua orang tuanya.
Pernikahan sebagai sarana tarbiyah
(pendidikan) dan ladang dakwah. Dengan menikah, maka akan banyak diperoleh
pelajaran-pelajaran & hal-hal yang baru. Selain itu pernikahan juga menjadi
salah satu sarana dalam berdakwah, baik dakwah ke keluarga, maupun ke
masyarakat.
C.
Persiapan kepribadian
Penerimaan adanya seorang pemimpin. Seorang muslimah harus faham dan sadar betul bila menikah nanti akan ada seseorang yang baru kita kenal, tetapi langsung menempati posisi sebagai seorang qowwam/pemimpin kita yang senantiasa harus kita hormati & taati. Disinilah nanti salah satu ujian pernikahan itu. Sebagai muslimah yang sudah terbisaa mandiri, maka pemahaman konsep kepemimpinan yang baik sesuai dengan syariat Islam akan menjadi modal dalam berinteraksi dengan suami.
Penerimaan adanya seorang pemimpin. Seorang muslimah harus faham dan sadar betul bila menikah nanti akan ada seseorang yang baru kita kenal, tetapi langsung menempati posisi sebagai seorang qowwam/pemimpin kita yang senantiasa harus kita hormati & taati. Disinilah nanti salah satu ujian pernikahan itu. Sebagai muslimah yang sudah terbisaa mandiri, maka pemahaman konsep kepemimpinan yang baik sesuai dengan syariat Islam akan menjadi modal dalam berinteraksi dengan suami.
Belajar untuk mengenal (bukan untuk dikenal).
Seorang laki-laki yang menjadi suami kita, sesungguhnya adalah orang asing bagi
kita. Latar belakang, suku, kebisaaan semuanya sangat jauh berbeda dengan kita
menjadi pemicu timbulnya perbedaan. Dan bila perbedaan tersebut tidak di atur
dengan baik melalui komunikasi, keterbukaan dan kepercayaan, maka bisa jadi
timbul persoalan dalam pernikahan. Untuk itu harus ada persiapan jiwa yang
besar dalam menerima & berusaha mengenali suami kita.
D.
Persiapan Fisik
Kesiapan fisik ini ditandai dengan kesehatan
yang memadai sehingga kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri
sebagai suami ataupun isteri secara optimal. Saat sebelum menikah, ada baiknya
bila memeriksakan kesehatan tubuh, terutama faktor yang mempengaruhi masalah
reproduksi. Apakah organ-organ reproduksi dapat berfungsi baik, atau adakah
penyakit tertentu yang diderita yang dapat berpengaruh pada kesehatan janin
yang kelak dikandung. Bila ditemukan penyakit atau kelainan tertentu, segeralah
berobat.
E.
Persiapan Material
Islam tidak menghendaki kita berfikiran
materialistis, yaitu hidup yang hanya berorientasi pada materi. Akan tetapi
bagi seorang suami, yang akan mengemban amanah sebagai kepala keluarga, maka
diutamakan adanya kesiapan calon suami untuk menafkahi. Dan bagi fihak wanita,
adanya kesiapan untuk mengelola keuangan keluarga. Insyallah bila suami
berikhtiar untuk menafkahi maka Allah akan mencukupkan rizki kepadanya. Allah
menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki
dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari ni’mat Allah? (QS. 16:72) ” Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian
di antara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS.
24:32)”.
F.
Persiapan Sosial
Setelah sepasang manusia menikah berarti
status sosialnya dimasyarakatpun berubah. Mereka bukan lagi gadis dan lajang
tetapi telah berubah menjadi sebuah keluarga. Sehingga mereka pun harus mulai
membisaakan diri untuk terlibat dalam kegiatan di kedua belah pihak keluarga
maupun di masyarakat. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukanNya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang
tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,” (Q.S. An-Nissa: 36).
Adapun persiapan-persiapan menjelang
pernikahan (A hingga F) yang tersebut di atas itu tidak dapat dengan begitu saja
kita raih. Melainkan perlu waktu dan proses belajar untuk mengkajinya. Untuk
itu maka saat kita kini masih memiliki banyak waktu, belum terikat oleh
kesibukan rumah tangga, maka upayakan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya
guna persiapan menghadapi rumah tangga kelak.
E. Kontribusi
Nilai Spiritual dengan Upaya Pendewasaan pada Remaja untuk Memasuki Usia
Perkawinan
Nilai
spiritual sangat mendukung upaya pendewasaan remaja untuk memasuki usia
perkawinan. Hal ini dapat tergambar dimana islam memberikan kebebasan dalam
melakukan perkawinan kepada seluruh penganutnya, namun islam juga memberikan
berbagai aturan dan syarat – syarat dalam melangsungkan perkawinan. Islam memberi
kebebasan tapi kebebasan ini juga mengandung batasan dan tanggung jawab dalam
prosesnya. Islam membebankan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak sehingga
keduanya akan menyadari akan tanggung jawab masing – masing.
Dengan
menyadari adanya tanggung jawab dalam pernikahan maka islam membimbing para
remaja untuk mempersiapkan diri untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Dengan
kesadaran antara kedua belah pihak akan hak dan kewajibannya maka ia akan
menmpersiapkan diri untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut. Misalnya,
dalam pendidikan tarbiyah. Telah termuat berbagai tuntunan bagi para remaja
bagaimana menyikapi problema yang muncul setelah perkawinan baik sosial (
hubungan antara keluarga baru dengan lingkungan sosial masyarakat ), keluarga
pria dengan keluarga wanita, ataupun problema internal dalam keluarga itu
sendiri.
Dalam islam,
pria dididik untuk memiliki sikap kepemimpinan, ketegasan, tanggung jawab,
wibawa, dan kasih sayang untuk membimbing keluarganya. Begitu pula wanita,
dididik untuk mampu menjadi pendamping yang menyenangkan, ramah, taat, qana’ah,
dan memiliki rasa kasih sayang kepada suami dan anak – anaknya. Dengan
membentuk pribadi seperti ini, maka kehidupan keluarga akan lancar karena telah
mengetahui dan memahami peran masing – masing.
Dengan adanya kesadaran tersebut, maka akan dilakukan langkah – langkah
antisipasi dan penyeimbangan seluruh aspek yang terkait, baik biologis,
material, emosional, dan spiritual.
F.
Peran Orang Tua, Lembaga Sosial, dan Tokoh Masyarakat
dalam Upaya Pendewasaan Usia Perkawinan
Gejala rapuhnya sendi
kehidupan perkawinan dan keluarga serta merosotnya peran orang tua belakangan
ini telah menjadi salah satu penyebab maraknya kasus perceraian. Ujungujungnya,
kasus kenakalan dan penyimpangan perilaku anak dan remaja dari tahun ke tahun
terus meningkat. Untuk mengantisipasi gejala tidak baik ini, Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bekerja sama dengan Departemen Agama
menggelar kursus pendidikan pra nikah dan parenting.
Orang tua
memiliki peran yang sangat besar dalam upaya Pendewasaan Usia Perkawinan ini.
Hal ini karena orang tua merupakan pihak pengontrol berbagai proses yang
terjadi dalam lingkungan remaja tersebut. Orang tua juga memiliki hubungan
emosional yang dekat dengan remaja tersebut sehingga mudah untuk memberikan
bimbingan dan pengarahan kepada anaknya. Selain mengontrol, orang tua juga
berperan dalam penentuan perkawinan bagi anaknya. Tidak dipungkiri, banyak
orang tua yang menentukan sendiri perkawinan anaknya, kapan, dengan siapa, dan
bagaimana proses resepsi atau pestanya. Dalam kondisi inilah orang tua dituntut
untuk jeli dalam memilih dan memilah hal yang terbaik untuk anaknya.
Peran lembaga sosial yaitu dengan memberikan
berbagai penyuluhan kepada para remaja tentang pentingnya Pendewasaan Usia
Perkawinan. Lembaga sosial harus memberikan berbagai pertimbangan bagi remaja
akan bahaya penundaan perkawinan, bahaya seks pra nikah, dampak positif
perkawinan, tentang tanggung jawab dalam keluarga, dan lain sebagainya. Hal ini
dimaksudkan agar para remaja dapat memikirkan lebih awal tentang konsep
perkawinan sehingga nantinya mereka dapat mengambil tindakan yang menurut
mereka terbaik untuk mereka jalani, apakah memutuskan kawin muda, menunda
perkawinan, atau mengambil untuk mempersiapkan diri.
Tokoh masyarakat
juga berperan dalam upaya ini, yaitu dengan memberikan motivasi diri bagi
remaja untuk membentuk kepribadian yang penuh tanggung jawab dan mengerti akan
hak dan kewajiban suami – istri. Tokoh masyarakat juga berperan memberi masukan
dan nasihat bagi remaja yang mempunyai kendala dalam proses persiapan diri ini.
Dengan adanya
kerjasama antara ketiganya, upaya Pendewasaan usia pernikahan akan berhasil
karena mendapatkan pengaruh positif dari faktor eksternal terbentuknya pribadi
yang diharapkan dalam perkawinan.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Dalam pendewasaan usia perkawinan, remaja
harus mempersiapakan diri dari segi biologis, emosional, dan spiritual. Upaya
pendewasaan usia perkawinan ini sangat diperlukan
kesadaran dari pihak – pihak yang terkait akan pentingnya nilai spiritual (
agama ). Hal ini karena nilai spiritual erat kaitannya dengan emosional. Jika
kedua aspek ini terpenuhi, maka kita akan mampu memenej aspek lain yaitu aspek
biologis. Dalam upaya ini juga diperlukan peran serta orang tua, lembaga
sosial, dan tokoh masyarakat demi berhasilnya pendewasaan usia perkawinan ini.
B.
SARAN
Mengingat pentingnya pendewasaan usia
perkawinan ini, perlu adanya kerja nyata dari berbagai elemen masyarakat untuk
meningkatkan kesadaran para orang tua dan remaja sendiri untuk mempersiapkan
diri memasuki masa perkawinan. Selain adanya dorongan dari luar, hal utama
yangdiperlukan adalah kesadaran dari remaja itu sendiri untuk mengubah
pemikiran yang keliru tentang perkawinan. Harus ditanamkan kepada remaja bahwa
perkawinan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, namun lebih kepada
pemenuhan kebutuhan emosional dan spiritual.
BAB IV
PENUTUP
Demikian
paparan karya tulis tentang Pendewasaan Usia Perkawinan dalam Perspektif
Spiritual ini. Saya berharap paparan ini dapat menjadi referensi bagi para
remaja unutk menghadapi tantangan hidup ke depannya. Semoga solusi, nasehat,
dalil, penjelasan, dan hukum yang dipaparkan dalam karya tulis ini akan member
kontribusi yang positif bagi kalangan remaja yang telah memasuki masa – masa
pendewasaan usia nikah.
Harapan
saya, agar kiranya karya tulis ini benar – benar dimanfaatkan dengan baik agar
menghasilkan generasi selanjutnya yang lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Dikutip dari Majalah Qiblati Edisi 05 tahun II/ 1428H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar