Kaifa Haluuk????

Dunia Maya Tanpa Batas.... Tapi Ingat, Apa Yang Anda Lakukan Akan diminta Pertanggungjawabanx...

Amar Ma'ruf Nahi Mungkar!!!

Sabtu, 29 Desember 2012

PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF SPIRITUAL



BAB I

PENDAHULUAN

A.        LATAR BELAKANG
Kita sering kali melihat berbagai realitas kehidupan rumah tangga di sekitar kita. Ada yang berjalan harmonis ada pula yang mengalami problema – problema yang sering kali berujung pada perceraian. Sebagai remaja, kita kelihatan kurang menanggapi problema yang sering kita lihat tersebut. Bahkan kebanyakan dari remaja justru terlihat cuek dan acuh terhadapa masalah ini. Padahal sebenarnya, remajalah yang turut andil dalam masalah tersebut.
Remaja memang tidak terlibat langsung, namun bila dipikirkan lebih dalam lagi, pangkal dan akar permasalahan semacam ini bermula karena kurangnya persiapan dan pendewasaan para remaja dalam memasuki fase baru yaitu kehidupan rumah tangga. Dalam usia remajalah pria dan wanita mulai mempersiapkan diri untuk menempuh kehidupan perkawinan bersama pasangan.
Memang dalam realitanya, banyak tantangan yang menjerumuskan para remaja sehingga tidak menyadari akan pentingnya proses ini dalam hidupnya. Bahkan, Remaja kurang mampu mengaitkan masalah semacam ini dengan prilaku spiritual kita dalam hal ini agama islam. Karena sebenarnya dalam perkawinan, kita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan biologis, namun kita harus menyadari bahwa perkawinan diperuntukkan memenuhi kebutuhan emosional dan spiritual.  Oleh karena itu, pendewasaan Usia Perkawinan dengan kaitannya dengan spiritual         (agama islam) ini akan dibahas dalam karya Tulis Remaja ini.

B.        TUJUAN
Adapun tujuan karya tulis ini, yaitu untuk membantu pemecahan masalah remaja dalam mempersiapkan diri menghadapi masa perkawinan. Karya tulis ini dibuat untuk memberikan pemahaman kepada para remaja akan pentingnya mempersiapkan diri bukan hanya dari aspek biologis, tapi juga aspek emosional dan spiritualnya. Karya tulis ini juga bertujuan untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa perkawinan itu hanya membutuhkan persiapan diri, materi, dan rohani ( rasa kasih sayang ) melainkan pernikahan itu sekaligus sebagai salah satu sunnah nabi dan mengandung nilai ketaan kepada Sang Pencipta.

C.        RUMUSAN MASALAH
1.    Apa pengaruh kurangnya pemahaman agama dengan banyaknya problema perceraian di tengah masyarakat?
2.    Bagaimana pandangan islam dalam upaya mendewasakan Remaja dalam memasuki usia perkawinan?

D. HIPOTESIS
v  Kurangnya pemahaman agama dalam kehidupan perkawinan menyebabkan tidak adanya kesadaran akan pentingnya pemenuhan kebutuhan bilogis, emosional, dan spiritual yang berdampak pada terjadinya perceraian.
v  Islam membekali para remaja dengan pendidikan mengenai perkawinan baik bagi pria maupun wanita. Dalam islam, perlu diadakan berbagai persiapan pra nikah baik biologis, emosional, spiritual maupun material. Islam menyeimbangkan antara kemampuan melaksanakan perkawinan dengan hak dan kewajiban suami maupun istri. Disinilah peran serta orang tua, lembaga sosial, dan tokoh masyarakat dalam membimbing para remaja untuk mempersiapkan diri memasuki usia perkawinan. Oleh karena itu, masing – masing pihak menyadari akan tanggung jawabnya dan nantinya kehidupan perkawinannya berjalan dengan lancar.

BAB II

SUBSTANSI / ISI

A.   Hukum – Hukum Islam tentang Perkawinan
v  "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui." (QS. An Nuur (24) : 32).
v  Anjuran-anjuran Rasulullah untuk Menikah : Rasulullah SAW bersabda: "Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !"(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).
v "Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah : a.Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah. b. Budak yang menebus dirinya dari tuannya. c.Pemuda / i yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram."  (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim)
v  "Wahai generasi muda ! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud).
Berdasarkan Dalil Al – Qur’an dan Hadits di atas dapat kita ketahui bahwa betapa islam sangat menganjurkan perkawinan bagi setiap penganutnya. Allah SWT telah menetapkan kebaikan dalam pernikahan. Bukan hanya kebaikan jasmaniah maupun rohaniah. Bahkan Rasulullah SAW sangat menekankan kepada umatnya agar melaksanakan perkawinan, bahkan terhadap pemuda miskin sekalipun. Beliau juga menekankan pada kata “sudah mampu”, artinya bagi pria maupun wanita yang telah mampu secara batiniah dan dengan niat menjauhkan dari berbagai mudharat.
B.   Usia nikah Menurut Hukum Negara & Agama Islam
Dalam Undang – Undang ini usia perkawinan disebutkan pada :
Pasal 7 :
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
Namun, dewasa ini peraturan telah direvisi sehingga usia perkawinan bagi pria yaitu 25 tahun ke atas dan wanita 20 tahun ke atas
Bila ditinjau dari aspek agama islam, usia nikah itu adalah ketika seorang pria atau wanita telah memasuki usia baligh. Bagi pria, baligh ditandai oleh terjadinya mimpi basah dan berubahnya suara. Bagi wanita, baligh ditandai dengan terjadinya haid. Selain itu, islam juga mempertimbangkan tentang adanya nafsu seksualitas yang dimiliki oleh setiap muda – mudi yang memasuki masa baligh. Oleh karena itu, Islam memperkenalkan jalur nikah untuk menjaga kesucian masing – masing pihak. Adapun hadits yang telah dipapakarkan, Nabi Muhammad SAW memberikan dalil yang membawa kebaikan bagi semua penganutnya karena hal ini telah terbukti bahwa dengan jalur nikah, kita dapat terpelihara dari berbagai kerusakan, baik moral, biologis, sosial, maupun keagamaan
Adapun Undang – undang yang mengatur tentang pernikahan terdapat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
BAB I DASAR PERKAWINAN ( pasal 1 – 5 )
BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN ( pasal 6 – 12 )
BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN ( pasal 13 – 21 )
BAB IV BATALNYA PERKAWINAN ( pasal 22 – 28 )
BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN ( pasal 29 )
BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI ( pasal 30 – 34 )
BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN  ( pasal 35 – 37 )
BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA ( pasal 38 – 41 )
BAB IX KEDUDUKAN ANAK ( pasal 42 – 44 )
BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK (pasal 45–49)
BAB XI PERWAKILAN ( pasal 50 – 54 )
BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN ( pasal 55 – 63 )
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN ( pasal 64 dan 65 )
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP ( pasal 66 – 67 )
.
C.   Persiapan / Pendewasaan bagi Pria
Gerangan apakah pernikahan itu?  Apakah sekedar memilih pasangan hidup yang tampan dan cantik?  Apakah sekedar pelarian untuk memuaskan kebutuhan biologis?  Apakah sekedar untuk mencari teman curhat permanen?  Atau sekedar coba-coba?  Semua itu bisa dijawab kalau kita memiliki sebuah visi yang jelas perihal pernikahan.  Sebagai seorang pemimpin dalam keluarga, maka laki-laki dituntut untuk memiliki visi yang jelas.
Dalam Islam, keluarga bisa membawa manusia kepada dua ekstrem.  Jika kita membina keluarga dengan baik dan semua anggota keluarga tersebut menjadi saleh, maka sudah pasti surga akan menjadi tempat berkumpul keluarga kita kelak.  Sebaliknya, kalau kita rajin melaksanakan amal-amal saleh pribadi namun mengabaikan keadaan anak-istri kita, maka bisa jadi kita akan ikut diseretnya ke neraka.  Kita berdoa semoga seluruh anggota keluarga kita bisa saling tarik menuju surga.
Sekarang, masalahnya jauh lebih kompleks daripada sekedar penghasilan.  Seorang laki-laki harus sadar bahwa melangkah kepada pernikahan berarti membebani dirinya sendiri dengan sebuah tanggung jawab yang besar, yaitu tanggung jawab pendidikan.  Ia wajib memikirkan dengan serius tentang kemampuannya mendidik anak-istrinya kelak.  Otomatis, ia pun harus memikirkan keadaan dirinya terlebih dahulu.  Bagaimana mungkin orang yang tidak terdidik bisa mendidik orang lain?
Jadi, masalah pertama yang harus dipikirkan adalah keadaan diri sendiri.  Sudahkah kita menjadi laki-laki yang saleh?  Sudahkah kita terbisaa melakukan shalat berjamaah?  Sudahkah kita membaca Al-Qur’an secara teratur setiap harinya dengan bacaan yang baik?  Sudahkah kita membisaakan tersenyum dan bertutur kata sopan dengan orang lain?  Sudahkah kita melaksanakan shalat malam secara rutin?  Sudahkah kita memahami ajaran-ajaran Islam?  Sudahkah kita mengenal Allah dengan baik? Dalam hal ini termasuk juga kesiapan fisik dan biologis. Sangat dianjurkan setiap calon mulai mencari informasi tentang Pengetahuan kesehatan reproduksi, dan seks pranikah. Hal ini dapat diperoleh melalui metode ceramah, Metode diskusi kelompok baik pada siswa, mahasiswa, maupun peserta pelatihan – pelatihan atau kursus yang telah memasuki usia remaja atau usia perkawinan. Bahkan kita sangat dianjurkan untuk melakukan pemerikasaan di pusat kesehatan setempat untuk mengetahui kesehatan tubuh atau alat reproduksi kita, agar hal ini dapat menjadi langkah antisipasi dan pencegahan penyebaran penyakit.
Kedengaran berlebihan?  Tentu saja tidak.  Ketika kita membesarkan anak, maka kita harus paham bahwa pengajaran agama sepenuhnya adalah tanggung jawab kita, bukan sekolah.  Sudah banyak bukti bahwa pelajaran agama Islam di sekolah sangat jauh dari cukup.  Jangan merasa siap menjadi orang tua jika belum siap menjadi pendidik!
Bagaimana dengan istri?  Justru masalah inilah yang harus dipikirkan terlebih dahulu, karena istri (tentu saja) hadir lebih dulu daripada anak.  Bagaimana cara mendidik istri?  Sudahkah kita memahami keadaan psikologis perempuan (yang jelas berbeda dengan laki-laki)?  Sudahkah kita memahami kecenderungan-kecenderungan mereka?  Sudahkah kita membuat rencana bagaimana harus mendidik istri?  Sudahkah kita merencanakan untuk membisaakan shalat malam berjamaah?  Sudahkah kita berpikir bagaimana mencegahnya agar tidak ikut-ikutan bergabung dalam forum gosip tetangga?  Sederet pertanyaan lainnya akan segera bermunculan jika kita membuka pikiran kita, insya Allah.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk menakut-nakuti saudara-saudara yang telah siap menikah.  Justru saya berharap mereka yang akan segera menikah segera mengevaluasi lagi kesiapannya dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan sebelum hari ‘H’ itu tiba.  Laki-laki yang siap menikah juga harus siap menjadi kepala keluarga, pembuat keputusan, pendidik, pemimpin, pemberi rasa aman, suri tauladan, suami dan ayah yang baik.  Adapun bagi mereka yang belum siap, hanya ada satu kata : Siapkanlah! 
Jadi dengan demikian, dari pihak pria harus melakukan persiapan dalam aspek :
1.    Penghasilan
2.    tanggung jawab pendidikan
3.    keadaan diri sendiri
4.    cara mendidik istri
5.    kepala keluarga, pembuat keputusan, pendidik, pemimpin, pemberi rasa aman, suri tauladan, suami dan ayah yang baik

D.   Persiapan / Pendewasaan bagi wanita
Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar-benar manusiawi maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan Islam menjadikan lembaga pernikahan sebagai sarana untuk memadu kasih sayang diantara dua jenis manusia. Dengan jalan pernikahan itu pula akan lahir keturunan secara terhormat. Maka adalah suatu hal yang wajar jika pernikahan dikatakan sebagai suatu peristiwa yang sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.
Persiapan Pra Nikah bagi muslimah . Seorang muslimah sholihah yang mengetahui urgensi dan ibadah pernikahan tentu saja suatu hari nanti ingin dapat bersanding dengan seorang laki-laki sholih dalam ikatan suci pernikahan. Pernikahan menuju rumah tangga samara (sakinah, mawaddah & rahmah) tidak tercipta begitu saja, melainkan butuh persiapan-persiapan yang memadai sebelum muslimah melangkah memasuki gerbang pernikahan.
Oleh sebab itu seorang muslimah harus mengetahui secara mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan persiapan-persiapan menjelang memasuki lembaga pernikahan. Hal tersebut antara lain :
A.   Persiapan spiritual/moral (Kematangan visi keislaman)
Dalam tiap diri muslimah, selalu terdapat keinginan, bahwa suatu hari nanti akan dipinang oleh seorang lelaki sholih, yang taat beribadah dan dapat diharapkan menjadi qowwam/pemimpin dalam mengarungi kehidupan di dunia, sebagai bekal dalam menuju akhirat. Tetapi, bila kita ingat firman Allah dalam Alqurâ’an bahwa wanita yang keji, adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik….” (QS An-Nuur: 26).
B.   Persiapan konsepsional (memahami konsep tentang lembaga pernikahan)
Pernikahan sebagai ajang untuk menambah ibadah & pahala : meningkatkan pahala dari Allah, terutama dalam Shalat Dua rokaat dari orang yang telah menikah lebih baik daripada delapan puluh dua rokaatnya orang yang bujang” (HR. Tamam).
Pernikahan sebagai wadah terciptanya generasi robbani, penerus perjuangan menegakkan dienullah. Adapun dengan lahirnya anak yang sholih/sholihah maka akan menjadi penyelamat bagi kedua orang tuanya.
Pernikahan sebagai sarana tarbiyah (pendidikan) dan ladang dakwah. Dengan menikah, maka akan banyak diperoleh pelajaran-pelajaran & hal-hal yang baru. Selain itu pernikahan juga menjadi salah satu sarana dalam berdakwah, baik dakwah ke keluarga, maupun ke masyarakat.
C.   Persiapan kepribadian
Penerimaan adanya seorang pemimpin. Seorang muslimah harus faham dan sadar betul bila menikah nanti akan ada seseorang yang baru kita kenal, tetapi langsung menempati posisi sebagai seorang qowwam/pemimpin kita yang senantiasa harus kita hormati & taati. Disinilah nanti salah satu ujian pernikahan itu. Sebagai muslimah yang sudah terbisaa mandiri, maka pemahaman konsep kepemimpinan yang baik sesuai dengan syariat Islam akan menjadi modal dalam berinteraksi dengan suami.
Belajar untuk mengenal (bukan untuk dikenal). Seorang laki-laki yang menjadi suami kita, sesungguhnya adalah orang asing bagi kita. Latar belakang, suku, kebisaaan semuanya sangat jauh berbeda dengan kita menjadi pemicu timbulnya perbedaan. Dan bila perbedaan tersebut tidak di atur dengan baik melalui komunikasi, keterbukaan dan kepercayaan, maka bisa jadi timbul persoalan dalam pernikahan. Untuk itu harus ada persiapan jiwa yang besar dalam menerima & berusaha mengenali suami kita.
D.    Persiapan Fisik
Kesiapan fisik ini ditandai dengan kesehatan yang memadai sehingga kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami ataupun isteri secara optimal. Saat sebelum menikah, ada baiknya bila memeriksakan kesehatan tubuh, terutama faktor yang mempengaruhi masalah reproduksi. Apakah organ-organ reproduksi dapat berfungsi baik, atau adakah penyakit tertentu yang diderita yang dapat berpengaruh pada kesehatan janin yang kelak dikandung. Bila ditemukan penyakit atau kelainan tertentu, segeralah berobat.
E.   Persiapan Material
Islam tidak menghendaki kita berfikiran materialistis, yaitu hidup yang hanya berorientasi pada materi. Akan tetapi bagi seorang suami, yang akan mengemban amanah sebagai kepala keluarga, maka diutamakan adanya kesiapan calon suami untuk menafkahi. Dan bagi fihak wanita, adanya kesiapan untuk mengelola keuangan keluarga. Insyallah bila suami berikhtiar untuk menafkahi maka Allah akan mencukupkan rizki kepadanya. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni’mat Allah? (QS. 16:72) ” Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 24:32)”.
F.    Persiapan Sosial
Setelah sepasang manusia menikah berarti status sosialnya dimasyarakatpun berubah. Mereka bukan lagi gadis dan lajang tetapi telah berubah menjadi sebuah keluarga. Sehingga mereka pun harus mulai membisaakan diri untuk terlibat dalam kegiatan di kedua belah pihak keluarga maupun di masyarakat. Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,” (Q.S. An-Nissa: 36).
Adapun persiapan-persiapan menjelang pernikahan (A hingga F) yang tersebut di atas itu tidak dapat dengan begitu saja kita raih. Melainkan perlu waktu dan proses belajar untuk mengkajinya. Untuk itu maka saat kita kini masih memiliki banyak waktu, belum terikat oleh kesibukan rumah tangga, maka upayakan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya guna persiapan menghadapi rumah tangga kelak.

E.  Kontribusi Nilai Spiritual dengan Upaya Pendewasaan pada Remaja untuk Memasuki Usia Perkawinan
Nilai spiritual sangat mendukung upaya pendewasaan remaja untuk memasuki usia perkawinan. Hal ini dapat tergambar dimana islam memberikan kebebasan dalam melakukan perkawinan kepada seluruh penganutnya, namun islam juga memberikan berbagai aturan dan syarat – syarat dalam melangsungkan perkawinan. Islam memberi kebebasan tapi kebebasan ini juga mengandung batasan dan tanggung jawab dalam prosesnya. Islam membebankan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak sehingga keduanya akan menyadari akan tanggung jawab masing – masing.
Dengan menyadari adanya tanggung jawab dalam pernikahan maka islam membimbing para remaja untuk mempersiapkan diri untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Dengan kesadaran antara kedua belah pihak akan hak dan kewajibannya maka ia akan menmpersiapkan diri untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut. Misalnya, dalam pendidikan tarbiyah. Telah termuat berbagai tuntunan bagi para remaja bagaimana menyikapi problema yang muncul setelah perkawinan baik sosial ( hubungan antara keluarga baru dengan lingkungan sosial masyarakat ), keluarga pria dengan keluarga wanita, ataupun problema internal dalam keluarga itu sendiri.
Dalam islam, pria dididik untuk memiliki sikap kepemimpinan, ketegasan, tanggung jawab, wibawa, dan kasih sayang untuk membimbing keluarganya. Begitu pula wanita, dididik untuk mampu menjadi pendamping yang menyenangkan, ramah, taat, qana’ah, dan memiliki rasa kasih sayang kepada suami dan anak – anaknya. Dengan membentuk pribadi seperti ini, maka kehidupan keluarga akan lancar karena telah mengetahui dan memahami peran masing – masing.  Dengan adanya kesadaran tersebut, maka akan dilakukan langkah – langkah antisipasi dan penyeimbangan seluruh aspek yang terkait, baik biologis, material, emosional, dan spiritual.

F.  Peran Orang Tua, Lembaga Sosial, dan Tokoh Masyarakat dalam Upaya Pendewasaan Usia Perkawinan
Gejala rapuhnya sendi kehidupan perkawinan dan keluarga serta merosotnya peran orang tua belakangan ini telah menjadi salah satu penyebab maraknya kasus perceraian. Ujungujungnya, kasus kenakalan dan penyimpangan perilaku anak dan remaja dari tahun ke tahun terus meningkat. Untuk mengantisipasi gejala tidak baik ini, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bekerja sama dengan Departemen Agama menggelar kursus pendidikan pra nikah dan parenting.
Orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam upaya Pendewasaan Usia Perkawinan ini. Hal ini karena orang tua merupakan pihak pengontrol berbagai proses yang terjadi dalam lingkungan remaja tersebut. Orang tua juga memiliki hubungan emosional yang dekat dengan remaja tersebut sehingga mudah untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada anaknya. Selain mengontrol, orang tua juga berperan dalam penentuan perkawinan bagi anaknya. Tidak dipungkiri, banyak orang tua yang menentukan sendiri perkawinan anaknya, kapan, dengan siapa, dan bagaimana proses resepsi atau pestanya. Dalam kondisi inilah orang tua dituntut untuk jeli dalam memilih dan memilah hal yang terbaik untuk anaknya.     
Peran lembaga sosial yaitu dengan memberikan berbagai penyuluhan kepada para remaja tentang pentingnya Pendewasaan Usia Perkawinan. Lembaga sosial harus memberikan berbagai pertimbangan bagi remaja akan bahaya penundaan perkawinan, bahaya seks pra nikah, dampak positif perkawinan, tentang tanggung jawab dalam keluarga, dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar para remaja dapat memikirkan lebih awal tentang konsep perkawinan sehingga nantinya mereka dapat mengambil tindakan yang menurut mereka terbaik untuk mereka jalani, apakah memutuskan kawin muda, menunda perkawinan, atau mengambil untuk mempersiapkan diri.
Tokoh masyarakat juga berperan dalam upaya ini, yaitu dengan memberikan motivasi diri bagi remaja untuk membentuk kepribadian yang penuh tanggung jawab dan mengerti akan hak dan kewajiban suami – istri. Tokoh masyarakat juga berperan memberi masukan dan nasihat bagi remaja yang mempunyai kendala dalam proses persiapan diri ini.
Dengan adanya kerjasama antara ketiganya, upaya Pendewasaan usia pernikahan akan berhasil karena mendapatkan pengaruh positif dari faktor eksternal terbentuknya pribadi yang diharapkan dalam perkawinan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.   KESIMPULAN
Dalam pendewasaan usia perkawinan, remaja harus mempersiapakan diri dari segi biologis, emosional, dan spiritual. Upaya pendewasaan usia perkawinan ini  sangat diperlukan kesadaran dari pihak – pihak yang terkait akan pentingnya nilai spiritual ( agama ). Hal ini karena nilai spiritual erat kaitannya dengan emosional. Jika kedua aspek ini terpenuhi, maka kita akan mampu memenej aspek lain yaitu aspek biologis. Dalam upaya ini juga diperlukan peran serta orang tua, lembaga sosial, dan tokoh masyarakat demi berhasilnya pendewasaan usia perkawinan ini.
B.   SARAN
Mengingat pentingnya pendewasaan usia perkawinan ini, perlu adanya kerja nyata dari berbagai elemen masyarakat untuk meningkatkan kesadaran para orang tua dan remaja sendiri untuk mempersiapkan diri memasuki masa perkawinan. Selain adanya dorongan dari luar, hal utama yangdiperlukan adalah kesadaran dari remaja itu sendiri untuk mengubah pemikiran yang keliru tentang perkawinan. Harus ditanamkan kepada remaja bahwa perkawinan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, namun lebih kepada pemenuhan kebutuhan emosional dan spiritual.

                                 BAB IV
PENUTUP
Demikian paparan karya tulis tentang Pendewasaan Usia Perkawinan dalam Perspektif Spiritual ini. Saya berharap paparan ini dapat menjadi referensi bagi para remaja unutk menghadapi tantangan hidup ke depannya. Semoga solusi, nasehat, dalil, penjelasan, dan hukum yang dipaparkan dalam karya tulis ini akan member kontribusi yang positif bagi kalangan remaja yang telah memasuki masa – masa pendewasaan usia nikah.
Harapan saya, agar kiranya karya tulis ini benar – benar dimanfaatkan dengan baik agar menghasilkan generasi selanjutnya yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Dikutip dari Majalah Qiblati Edisi 05 tahun II/ 1428H  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar